Sumber Hukum Islam (3)

5. Ijtihad

Ijtihad adalah upaya bersunguh-sungguh dalam memutuskan perkara yang tidak dibahas dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Sebenarnya frasa “tidak dibahas” tersebut agak kurang tepat, karena kaum mukminin percaya bahwa segala sesuatu telah Allah berikan petunjuknya dalam Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam ayat berikut:

Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (QS. Al-An’aam 6:38)

Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu, (QS. Huud 11:1)

Ketika kaum mukminin menjumpai suatu masalah, mereka meyakini bahwa solusinya ada dalam Al-Qur’an. Persoalannya adalah ayat mana atau hadits mana yang menjelaskan hal itu, kadang-kadang mereka menghadapi kesulitan. Itulah fungsi dari Ijtihad, yakni sebuah upaya sungguh-sungguh untuk mencari rujukan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang bisa dijadikan dalil untuk memecahkan masalah tertentu. Hal ini diperkuat oleh hadits nabi:

Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw bertanya: “Bagaimana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada sebuah masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi saw bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah saw”. Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah?”. Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah saw. (Sunan al-Darimi, 168)

Hasil ijtihad yang dilakukan oleh ulama dianggap sebagai salah satu sumber hukum islam. Pendapat yang disepakati bersama oleh beberapa ulama disebut dengan Ijmak.

6. Qiyas (Analogi)

Qiyas (analogi) adalah metoda penurunan hukum islam berdasarkan kesamaan dengan hukum islam yang telah ada. Dengan demikian, qiyas bukanlah sumber hukum, melainkan metoda ijtihad. Akan tetapi, para ulama ushul fiqih membedakan hasil qiyas dengan hasil ijtihad lainnya; dan menganggap qiyas sebagai salah satu sumber hukum islam.

Semua mazhab Sunni dan syi’ah zaidiyah sepakat qiyas dijadikan sebagai salah satu sumber hukum islam. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya. Madzhab syi’ah imamiyah dan madzhab zahiriyah tidak mengakui keberadaan qiyas apalagi menerima atau menggunakannya sebagai salah satu sumber hukum Islam.

7. Istihsan

Istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara` yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Sebagaimana qiyas, Istihsan secara bukanlah sumber hukum, melainkan metoda ijtihad. Akan tetapi, para ulama ushul fiqih membedakan hasil istihsan dengan hasil ijtihad lainnya; dan menganggap istihsan sebagai salah satu sumber hukum islam.

Contoh Istihsan dapat dilihat pada Madzhab Hanafi yang menetapkan sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum.

Menurut qiyas jali, sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.

Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab di antara oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.

Berdasar keadaan ini, Madzhab Hanafi memberlakukan istihsan dari qiyas jali kepada qiyas khafi.

Imam Syafi`i tidak menerima istihsan sebagai salah satu sumber hukum islam. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah menggunakannya; demikian pula Imam Hanafi, dan sebagian pengikut Maliki dan pengikut Hambali.

8. Urf

Urf adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.

Sebagai contoh: adalah kebiasaan manusia modern melakukan jual beli di toko atau pasar tanpa menggunakan akad secara verbal maupun tertulis. Secara hukum, adanya akad adalah suatu keharusan. Akan tetapi berdasarkan kebiasaan yang ada, jual beli di toko atau pasar dilakukan tanpa akad. Pembeli menyerahkan uang dan penjual menyerahkan barang sudah dianggap cukup. Para ulama ushul fiqih kemudian menetapkan jual beli seperti itu sah berdasarkan Urf (kebiasaan).

Mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.

USHUL FIQIH DAN ILMU ALAT LAINNYA

Dalam upaya melakukan strandarisasi penurunan hukum islam, dirumuskanlah suatu ilmu baru yang disebut dengan Ushul Fiqih. Ushul Fiqih mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber hukum islam.

Pendapat yang mashur di kalangan ulama, Imam Syafi’i-lah (w. 150 H/767 M) yang dianggap sebagai peletak asar ilmu Ushul Fiqih. Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang isinya berbicara mengenai bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan beberapa prinsip ushul fiqh yang lain.

Ushul Fiqih adalah ilmu alat terpenting dalam memahami makna Al Qur’an dan As-Sunnah. Dalam pada itu, para ulama terdahulu juga merumuskan berbagai ilmu alat lain yang tak kalah pentingnya, seperti nahwu (tata bahasa), sharaf (perubahan bentuk kata), balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), dsb. Ilmu-ilmu alat ini penting dipelajari oleh para ulama dalam menurunkan hukum-hukum islam dari Al Qur’an dan As-Sunnah; agar terhindar dari penafsiran menurut hawa nafsu.

PENUTUP

Sumber hukum islam yang wajib diikuti adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Penetapan Ahlul Bait, Salafus Shaleh, Ahli Madinah, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Urf sebagai sumber hukum tambahan pada hakekatnya adalah hasil ijtihad para ulama terdahulu, dimana mereka tidak bersepakat bulat menerima semuanya sebagai sumber hukum islam.

Para ulama terdahulu telah melakukan berbagai ijtihad dalam upaya mereka memahami Al Qur’an dan As-Sunnah dan menurunkan hukum-hukum islam dari keduanya yang hasilnya dituliskan dalam berbagai kitab yang luar biasa banyaknya. Khazanah islam ini sudah sepatutnya dilestarikan dan dijadikan rujukan oleh para ulama jaman sekarang; sambil tidak berhenti dalam melakukan ijtihad, baik dalam upaya merumuskan hukum-hukum islam baru menghadapi berbagai persoalan kekinian, maupun mengkritisi hasil-hasil ijtihad para ulama sebelumnya. Dengan demikian, pemahaman umat islam akan Al Qur’an dan As-Sunnah selalu berkembang dan dapat dijadikan pedoman kaum mukminin sepanjang sejarah manusia.

Nabi pernah bersabda: Jika seorang hakim memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian benar maka dia mendapat dua pahala, dan jika memutuskan hukum dengan berijtihad dan kemudian salah maka ia mendapat satu pahala (HR Bukhari Muslim). Hadist ini hendaknya dijadikan pendorong bagi para ulama untuk tidak takut berijtihad; untuk tidak takut berbeda pendapat baik dengan ulama sezamannya maupun dengan ulama terdahulu; pada saat yang sama para ulama memiliki kewajiban untuk membangun adab dalam menghadapi berbedaan pendapat diantara mereka.

Ijtihad yang disertai adab akan melahirkan berbagai pemahaman baru yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah; Ijtihad tanpa adab hanya akan melahirkan perpecahan umat. Yang paling bertanggung jawab atas hal ini adalah para ulama. Umat pada dasarnya mengikuti ulama yang mereka rujuk. Jika para ulama rujukan ini mengajarkan kepada mereka untuk saling menghormati hasil ijtihad ulama lain (sekalipun bertentangan dengan hasil ijtihad mereka), Insya Allah tidak akan terjadi penghujatan dan perpecahan di kalangan umat islam.

Wallahu ‘alam

Artikel Sumber Hukum Islam: 01 - 02 - 03.