Mazhab Islam

Secara singkat, mazhab berarti aliran pemikiran. Pada awalnya perbedaan mazhab berasal dari perbedaan pendapat individu atau sekelompok orang dalam memandang sesuatu. Ada pula mazhab yang lahir karena perbedaan politik. Seiring berlalunya waktu, ada mazhab yang mengkristal dan memiliki banyak pengikut; ada pula mazhab yang kemudian punah termakan waktu.

Adanya perbedaan pandangan antara seseorang dengan orang yang lain adalah hal yang wajar dan manusiawi. Pada jaman Nabi, perbedaan-perbedaan ini dapat diminimalisir berkat adanya otoritas Nabi sebagai pembawa Wahyu Tuhan. Ketika Nabi wafat, maka tidak ada lagi otoritas yang berwewenang untuk mengatasi berbagai perbedaan pendapat yang muncul di kalangan kaum muslimin, yang dengan demikian memungkinkan terjadinya pengkristalan mazhab tertentu atau kepunanahan mazhab yang lain.

Ulil Abshar Abdalla, menantu Gus Mus, memberikan penjelasan yang menarik mengenai istilah "mazhab" ini. Mazhab berasal dari kata kerja dalam bahasa Arab “dzahaba” yang artinya pergi. Secara morfologis atau tasrif, kata “madzhab” adalah masdar mim (mim-prefixed verbal noun) atau isim makan (kata benda yang menunjukkan tempat), yang artinya: bepergian atau tempat bepergian.

Pada abad ketiga Hijriyah, kira-kira pada tahun 800an Masehi, artinya pada masa klasik Islam, istilah “mazhab” masih dipakai untuk urusan yang tidak serius, maksudnya, kata "mazhab" masih belum mengalami pengkristalan makna sebagaimana hari ini. Saat itu, katanya, kata mazhab masih dipakai secara harfiah, yang artinya pergi, termasuk pergi, misalnya, untuk ngaji, pergi ke warung makan, pergi ke kampus, dsb.

Dalam konteks yang lebih luas, istilah mazhab dimengerti sebagai “school of thought”, aliran pemikiran dalam bidang apapun. Dalam bidang filsafat, misalnya, dikenal banyak mazhab pemikiran: idealisme, empirisme, strukturalisme, post-strukturalisme, post-modernisme, dll. [1]

Untuk urusan yang serius dan konteks yang lebih luas, di dalam Islam terdapat beberapa mazhab atau aliran pemikiran sbb:

  • Dalam bidang aqidah: Jabariyah, Qadariyah (Muktazilah), Asyariyah, Maturidiyah, Salafiyah dan Wahabiyah.
  • Dalam bidang syariah (fiqh): Hanafiyah, Hanabilah, Malikiyah, Syafiiyah, Jafariyah, Zaidiyah, Ismailiyah.
  • Dalam bidang politik: Syiah, Ahlusunnah, Khawarij, Murjiah.

HAL-HAL YANG MENDASARI PERBEDAAN MAZHAB

(1) Pendiri Mazhab

Pendiri mazhab adalah faktor utama terjadinya pengkristalan pemikiran yang muaranya adalah pendirian mazhab. Pada saat yang sama masing-masing dari mereka memiliki keterbatasan yang manusiawi, misalnya dalam hal intelektulitas mapun akses terhadap sumber-sumber rujukan (terutama sunnah/hadits nabi). Koleksi hadits yang mereka miliki berbeda satu sama lain, dimana hal ini sangat memungkinkan pengambilan keputusan (ijtihad) yang berbeda untuk urusan yang sama.

Sebuah sikap yang tulus mengenai bagaimana menyikapi hal itu, ditunjukkan oleh Imam Syafii yang pernah berkata: “Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding. Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku".

(2) Sumber Hukum Islam

Semua pendiri mazhab sepakat bulat dalam memperlakukan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber utama hukum Islam. Akan tetapi mereka tidak bersepakat mengenai sumber-sumber hukum Islam yang lain: Ahlul Bait, Salafus Shaleh, Ahli Madinah, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Urf.

Hal ini melahirkan perbedaan akan hasil ijtihad mereka. Yang akhirnya mengkristal dan mengerucut melahirkan mazhab-mazhab.

(3) Metodologi Pengambilan Hukum Islam

Dalam upaya merumuskan dan menetapkan suatu urusan agama islam, terdapat tiga dalil utama, yaitu Dalil Naqli (yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah), Dalil Aqli (Penggunaan Akal), dan Kasf (Inspirasi Ruhaniah). Masing-masing pendiri mazhab memiliki pemikiran tersendiri mengenai bagaimana menggunakan ketiga dalil itu, dan itu melahirkan perbedaan akan hasil ijtihad mereka. Yang akhirnya mengkristal dan mengerucut melahirkan mazhab-mazhab.

SIKAP TERHADAP PERBEDAAN MAZHAB

Sikap terbaik dalam menghadapi perbedaan mazhab adalah "berlapang dada di dalam majlis":

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu berlapang-lapanglah pada majlis-majlis, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan melapangkan bagi kamu. Dan jika dikatakan kepada kamu ; Berdirilah ! ", maka berdirilah Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang~rang yang diberi ilmu beberapa derajat; Dan Allah dengan apapun yang kamu kerjakan adalah Maha Mengetahui. (QS Al -Mujaadalah: 11)

"Dirahmati Allah seseorang yang melapangkan tempat buat saudaranya". (Ibn Abi Hatim)

Ada kisah yang menarik mengenai bagaimana Imam Syaf’i menghormati pendapat Imam Hanafi dalam urusan qunut subuh. Menurut Imam Syaf’i, qunut subuh berstatus sunnah, sementara menurut Imam Hanafi, qunut subuh itu bukan sunnah. Sepanjang hidupnya, Imam Syaf’i selalu melakukan qunut subuh, kecuali pada suatu saat dimana beliau berada di Baghdad. Itu beliau lakukan untuk menghormati pendapat Imam Hanafi yang dimakamkan di Baghdad.

Hal terpenting dalam menghadapi perbedaan pendapat adalah saling menghormati. Jikalau ini tidak bisa dilakukan, seminimalnya tidak menganggap mazhhab mereka yang paling benar dan diikuti pengkafiran mazhab yang lain. Hal yang demiian ini akan memicu perpecahan di kalangan umat islam.

CATATAN KAKI:

[1] Ulil Abshar Abdalla: Makna Kata “Mazhab”