Sumber Hukum Islam (1)

Kaum mukminin meyakini bahwa rujukan utama sebagai penuntun dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang aslinya tersimpan dalam Lauh Mahfuzh, yang kemudian dibawa oleh Jibril as untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad saw dalam bentuk wahyu. Sebagian sahabat ada yang ditugaskan untuk mencatat wahyu itu ke dalam bentuk teks yang kita kenal sebagai Mushaf Al-Qur’an.

Haa Miim. Demi Kitab (Al-Qur’an) yang menerangkan. Sesungguhnya Kami menjadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (QS. Az-Zukhruf 43:1-4)

Mushaf Al-Quran di masa kenabian ditulis tanpa harakat (titik, baris, hamzah). Meski demikian, mereka tetap bisa membacanya dengan benar dan tidak menjadi masalah bagi mereka. Akan tetapi hal ini menyulitkan buat orang selain arab. Untuk menghindari hal itu, dilakukanlah penambahan harakat yang pertama kali dilakukan pada zaman Khalifah Muawiyah bin Abi Sufyan. Mushaf Al-Qur’an yang kita kenal hari ini sama persis dengan mushaf yang ada pada waktu itu, sebagaimana janji Allah untuk menjaga kemurniannya:

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QA. Al-Hijr 15:9)

Kaum mukminin juga meyakini bahwa semua sikap, tindakan, ucapan Nabi Muhammad tidak didorong oleh hawa nafsunya; semuanya dilakukan atas petunjuk Tuhan, sebagaimana diabadikan dalam ayat berikut:

Demi bintang ketika terbenam. kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya). (QS. An Najm 53:1-4)

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzaab 33:21)

Ada sebuat riwayat yang dinisbahkan kepada Hisyam bin Amir yang pernah bertanya kepada Aisyah RA tentang akhlak Rasulullah SAW. Aisyah menjawab, “Akhlak Nabi SAW adalah Alquran.” (HR Muslim). Hadits ini seringkali dijadikan rujukan sebagai dalil bahwa Rasulullah adalah Al-Qur’an yang berjalan di muka bumi.

Itulah sebabnya, para sahabat mengingat dan mencatat semua sikap, tindakan, ucapan Nabi Muhammad itu dan dikemudian hari ada upaya-upaya untuk mengumpulkannya dalam sembilan kitab hadits utama (kutubut tis’ah) dan kitab hadits sekunder lainnya. Sikap, tindakan, dan ucapan nabi itu dikenal dengan nama As-Sunnah dan dipercayai sebagai sumber hukum kedua dalam Islam.

Narasi dalam hadits-hadits itu adalah narasi para sahabat; jadi wajar jika kita temukan dua hadits yang memiliki redaksi yang berbeda; apalagi jika yang diceritakan adalah perilaku nabi. Dalam pada itu, ada sekumpulan hadits yang disebut dengan Hadits Qudsi, yaitu perkataan Nabi Muhammad yang dinisbahkan kepada Allah. Dengan kata lain, Hadits Qudsi adalah wahyu yang diturunkan Allah tetapi tidak dianggap sebagai bagian dari Al-Qur’an.

Kaum mukminin memegang teguh dua warisan ini, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan menjadikan keduanya sebagai sumber paling shahih sebagai penuntun dalam mengarungi kehidupan dunia dan akhirat. Hal ini diperkuat pula oleh sabda nabi:

Aku telah meninggalkan pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang teguh kepada keduaya, yaitu : Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya (HR Malik)

Ketika nabi masih hidup, para sahabat seringkali meminta nasehat kepada beliau ketika mereka menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Apa yang diputuskan oleh nabi, para sahabat akan mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada perselisihan diantara mereka yang tidak dapat dipecahkan.

Persoalannya menjadi lain, setelah nabi meninggal. Ada banyak masalah baru yang membutuhkan jalan keluarnya. Sementara yang ditinggalkan oleh nabi adalah teks Al-Qur’an dan Al-Hadits; dan pembacaan atas teks sangat rentan terhadap perbedaan penafsiran. Inilah awal perbedaan mazhab di dalam islam; dimana ulama yang satu memiliki pandangan yang berbeda dengan ulama yang lain dalam memahami teks Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Perbedaan penafsiran dan lahirnya berbagai mazhab di dalam islam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Untuk itulah, kita perlu berlapang-lapang dada dalam menghadapi berbagai macam penafsiran dalam memahami teks Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan tidak menganggap penafsiran kita sebagai kebenaran mutlak. Yang mutlak kebenarannya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits; sementara pembacaan kita atas kedua sumber ini adalah penafsiran yang sangat rentan terhadap kesalahan.

Artikel Sumber Hukum Islam: 01 - 02 - 03.