Kisah Para Penyeru Perjuangan Islam

Sewaktu kuliah dulu (akhir tahun 80-an), ada banyak penyeru perjuangan islam. Mereka getol sekali mendatangi mahasiswa yunior dengan ajakan yang kira-kira begini:

Sekarang ini adalah masa yang mirip dengan masa dimana Rasulullah belum hijrah. Lalu ia menganalisa situasi dan kondisi masyarakat dan menyimpulkan bahwa sikon-nya cocok dengan masa Rasulullah yang ia gambarkan itu. Dengan bekal ini kemudian dilakukanlah berbagai strategi dakwah yang bla-bla-bla.

Yang menarik, ada pula penyeru lain yang melakukan analisis yang mirip, tapi berbeda “masa”:

Sekarang ini adalah masa yang mirip dengan masa dimana Rasulullah masih dakwah secara sembunyi-sembunyi dan pusat dakwah dilakukan di rumah Arqam bin Abi al-Arqam al-Makhzumi. Lalu ia menganalisa situasi dan kondisi masyarakat dan menyimpulkan bahwa sikon-nya cocok dengan masa Rasulullah yang ia gambarkan itu. Dengan bekal ini kemudian dilakukanlah berbagai strategi dakwah yang bla-bla-bla.

Dulu saya manggut-manggut saja mendengar yang begini-begini. Yang sana diiyakan yang sini juga diiyakan. Karena keduanya memiliki alasan yang memang masuk akal.

Baru sekarang ini (2017) saya bisa berkomentar: Lha iya… kenapa setiap perjuangan umat islam selalu dipetakan kepada sirah Muhammad? Memang gak ada pattern (pola) lain? Kan Al-Qur’an isinya sejarah para nabi dan mengandung pattern juga.

Coba misalnya analisanya begini “Sekarang ini jamannya Nabi Luth”. Kerenlah, yang penting beda. Perkara logika bisa diatur. Pakai cocokologi.

Maksud saya, jangan begitulah… Cinta Rasul dan ajarannya jangan sampai membuat kita terpaku sampai segitunya.

Padahal, ada ayat-Nya yang jelas dan terang:

Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. (QS. Ali ‘Imraan 3:164)

Persoalannya, banyak umat islam hari ini meyakini bahwa “kerasulan” telah berakhir setelah Nabi Muhammad. Dengan demikian, ayat Ali ‘Imraan 3:164 itu dianggap warisan sejarah yang sudah tak berlaku lagi di jaman sekarang.

Padahal Nabi mengatakan dua hal mengenai hal itu: (1) Aku adalah Nabi yang terakhir. [1] (2) Ulama-ulama setelahku setara dengan nabi-nabi bani israil [2]. Kerasulan dan kenabian memang telah berakhir, tetapi ulama yang setara dengan para nabi bani israil atau setidak-tidaknya ulama penerus kerasulan/kenabian masih terus berlanjut.

Menurut saya, ulama-ulama itulah “rasul” yang dimaksud (QS. Ali ‘Imraan 3:164) itu dan merekalah yang paling tahu cara “membaca ayat”, “membaca pola jaman”. Jadi kewajiban kita adalah menemukan ulama penerus kerasulan — bukan ulama selebritis — agar kita tidak gagap “membaca pola jaman”.

Wallahu A’lam
Syam Ciremai

CATATAN KAKI:

[1] Dua dalil mengenai Nabi Muhammad adalah penutup para nabi:

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab (33): 40)

Sesungguhnya perumpamaan diriku di antara para nabi sebelumku, seperti perumpamaan seorang yang sedang membangun rumah dia memperbaikinya dan memperindahnya kecuali satu bata sebelah sudut yang kosong. Maka manusia mengitari rumah itu, mereka heran dengannya, dan mereka berkata: “Kenapa yang ini tidak?” Akhirnya diletakkanlah batu bata di bagian tersebut.” Dia bersabda: “Akulah batu bata tersebut, dan aku adalah penutup para nabi. (HR. Bukhari)

[2] Ulama-ulama dikalangan umatku seperti nabi-nabi Bani Israel (Al-Hadits)