Bangsa yang Bertasbih

Salah satu hal yang disunnahkan dalam ajaran islam adalah memperbanyak kalimat tasbih:

“Dua kalimat yang ringan diucapkan lidah tetapi sangat memberatkan timbangan (amal) dan sangat disukai Allah adalah Subhanallahi wa bihamdihi, subhanallahil adziim (Artinya “Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah yang Maha Agung,” (HR. Bukhari)

Hanya manusia-lah kiranya yang diberi Tuhan kemerdekaan untuk memenuhi seruan-Nya atau mengabaikan-Nya. Termasuk didalamnya urusan tasbih, kita diberi kebebasan untuk bertasbih atau tidak bertasbih. Bagi mereka yang bertasbih, Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka dan memberi mereka pahala yang setimpal.

“Jika seseorang bertasbih 100 kali dalam sehari, maka akan dicatat baginya seribu kebaikan atau dihapuskan darinya seribu kesalahan” (HR Muslim)

Makhluk selain manusia tidaklah menikmati kebebasan itu. Mereka dicipta dalam keadaan senantiasa bertasbih kepada-Nya.

Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sembahyang dan tasbihnya, dan Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (QS. An-Nuur 24:41)

Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. Masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. (QS. Al-Anbiyaa’ 21:33)

“Beredar di dalam garis edarnya” dalam bahwa arab dikatakan sebagai “yasbahuun”. Kata ini terdiri dari akar kata yang sama dengan tasbih, yakni sa-ba-ha. Dengan demikian, burung bertasbih kepada-Nya dengan cara mengembangkan kedua sayapnya; sementara matahari dan bulan bertasbih dengan beredar di dalam garis edarnya.

Ketika burung mengembangkan kedua belah sayapnya, itu adalah posisi dimana burung menggunakan energi minimalnya terbang melayang dengan memanfaatkan energi angin. Posisi bulan mengitari bumi adalah posisi terbaiknya berdasarkan hukum-hukum gravitasi. Demikian pula posisi matahari mengitari pusat galaksi bimasakti.

Itulah sebabnya kita disunnahkan untuk membaca tasbih ketika berjalan menurun dan membaca takbir ketika berjalan naik. Berjalan di tanah yang menurun adalah berjalan dengan menggunakan energi minimal, memanfaatkan gravitasi bumi.

Dari Jabir ra dia berkata: “Kami apabila berjalan naik membaca takbir, dan apabila kami turun membaca tasbih.” (HR. Bukhari)

Salah satu ritual haji adalah thawaf, yakni berlari-lari kecil mengelilingi ka’bah, sebagaimana bulan mengelilingi bumi atau planet mengelilingi matahari. Thawaf dimaksudkan untuk mengingatkan manusia agar senantiasa bertasbih kepada-Nya setiap saat dalam kehidupan.

Urusan tasbih, bukanlah sekedar melantunkan kalimah tasbih. Hakekat tasbih adalah menjalani kehidupan dengan energi minimal mereka, sebagaimana burung dimudahkan-Nya terbang di angkasa bebas.

Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. Tidak ada yang menahannya selain daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang beriman. (QS. An-Nahl 16:79)

Demikian pulalah, manusia hendaknya menjalani kehidupan dengan bekerja sesuai dengan cetak biru Tuhan dalam dirinya. Itulah yang dimudahkan baginya sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu. Dan itulah yang disebut Aristoteles sebagai ARETE.

…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya. – H.R. Bukhari no. 1777

Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk itu.” – H.R. Bukhari no. 2026.

Memakai penjelasan Aristoteles, ARETE adalah “peran” atau “keahlian”. Dalam pandangan teologis: bahwa segala sesuatu mempunyai maksud penciptaan. Dengan demikian kata tersebut bermakna “peran suci” atau “keahlian yang sesuai dengan maksud penciptaan”, misalnya: arete mata adalah melihat, arete telinga adalah mendengar, atau arete pisau adalah memotong.

Salah satu ritual haji yang lain adalah berkurban. Dalam pelaksanaan kurban, hendaknya kita berdiri disisi hewan yang akan kita kurbankan dan menyaksikan tetesan darah yang keluar dari hewan kurban itu.

“Hai Fatimah, berdirilah di sisi korbanmu dan saksikanlah ia, sesungguhnya titisan darahnya yang pertama itu pengampunan bagimu atas dosa-dosamu yang telah lalu” (HR. Al-Bazzar dan Ibnu Hibban)

Ritual ini penting artinya, agar kita mendapatkan pengampunan Tuhan atas berbagai dosa dan kesalahan kita baik yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari. Pada saat berkurban, niatkanlah dalam hati bahwa kita menyembelih hewan kurban dan sekaligus hawa nafsu kita, serta memasrahkan hidup kita sepenuhnya berdasarkan pengaturan-Nya, yakni menjalani kehidupan berdasarkan ARETE kita masing-masing.

Betapa indahnya, jika negara yang kita dirikan adalah sebagaimana negara ideal Plato; dimana negara dibuat dengan tujuan agar setiap warga negara-nya bekerja sesuai dengan arete mereka. Pada saat itulah, maka bangsa Indonesia menjadi bangsa yang senantiasa bertasbih kepada-Nya setiap saat.[]